Teh Hijau (Sumber gambar: www.freepik.com created by zirconicusso)
Teh merupakan salah satu produk yang telah banyak dikenal secara global. Indonesia sebagai salah satu negara produsen teh mengalami peningkatan konsumsi teh hingga 26,6 persen pada dekade ini (FAO United States, 2018). Secara global, Konsumsi teh hampir selalu mengalami peningkatan konsumsi sejak tahun 2012 dan bahkan diperkirakan terus meningkat hingga 2027 (www.statista.com).
Teh diketahui mengandung polifenol, alkaloid, asam amino, karbohidrat, protein, klorofil, volatil, mineral, dan senyawa lainnya. Lebih dari 96 polifenol diketahui terkandung dalam 41 jenis teh hijau dan 25 teh fermentasi. Dari beberapa studi epidemiologi, dapat disimpulkan bahwa kandungan polifenol teh menunjukkan manfaat bagi kesehatan manusia karena aktivitas antioksidan yang tinggi. Hal demikian menyebabkan sel terlindungi dari efek negatif radikal bebas dan mengurangi risiko beberapa jenis kanker dan penyakit. Hal ini juga melatarbelakangi penelitian-penelitian dalam penentuan kandungan polifenol total tanaman.
Metode standar yang paling sering digunakan untuk menentukan kadar senyawa polifenol sampel teh hijau adalah dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Metode standar untuk menentukan Kandungan Polifenol Total (KPT) atau Total Polyphenol Content (TPC) adalah spektrofotometri UV-Vis dengan reagen Folin-Ciocalteu (FC). Metode alternatif khusus dalam penentuan KPT pada minuman yang mengandung amina aromatik dan gula (biasanya terdapat pada minuman teh) sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang tepat. Pengembangan biosensor kolorimetri berbasis kertas dengan metode scanometric untuk penentuan KPT minuman teh hijau dapat digunakan sebagai solusi.
Peneliti Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga; Djoko Agus Purwanto, dan Mochammad Yuwono berkolaborasi dengan Mochammad Amrun Hidayat, Diah Ayu Maharani, dan Bambang Kuswandi (Universitas Jember) melakukan penelitian untuk menentukan kandungan polifenol total minuman teh dengan biosensor kolorimetri berbasis kertas sederhana dan sensitif. Sampel yang digunakan peneliti berasal dari pasar lokal Jember, Jawa Timur.
Peneliti berhasil mendapat hasil uji dengan metode yang dikembangkan berupa perubahan warna merah muda pada zona biosensing (mengandung bioreagen tirosinase dan MBTH) yang diberi larutan katekin (polifenol khas teh hijau). Peneliti menunjukkan deteksi keberadaan katekin pada sampel.
Gambar 1. Proses analisis kandungan total katekin (polifenol) minuman teh hijau yang dilakukan peneliti (Hidayat et al., 2020)
Peneliti melakukan optimalisasi pada metode penelitian; (a) Optimasi larutan bioreagen (MBTH) untuk didapatkan intensitas warna tertinggi pada biosensor dari hasil reaksi antara bioreagen dan katekin (polifenol). Peneliti melaporkan bahwa konsentrasi 3-metil-2-benzotiazolinon hidrazon (MBTH) dengan intensitas warna tertinggi adalah 51,34 dan 102,69 mM. (b) Dalam penentuan KPT, metode yang diusulkan peneliti adalah penambahan 0,52 mM katekin pada biosensor polifenol. Hal ini menjadikan metode peneliti terbukti lebih cepat daripada metode standar (FC) yang biasanya membutuhkan 20 menit hingga 2 jam untuk analisis tunggal dengan menggunakan standar polifenol (katekin). (c) Peneliti menunjukkan bahwa vitamin c merupakan zat potensial pengganggu dalam penentuan KPT. Peneliti menunjukkan bahwa ketika nilai interferensi vitamin c mencapai 6%, maka vitamin c mampu mempengaruhi oksidasi katekin (intensitas warna pada biosensor). (d) Peneliti juga melaporkan bahwa biosensor tercatat stabil hingga 8 hari pada suhu beku (-20-0oC) dan respon biosensor menurun pada suhu ruangan (25-28oC) dalam waktu sehari. Kondisi-kondisi tersebut dapat digunakan sebagai acuan penelitian lanjutan terkait deteksi kandungan polifenol dan penentuan KPT.
Hasil akurasi dan pengulangan dalam modifikasi metode peneliti menunjukkan bahwa metode yang dikembangkan peneliti memiliki presisi yang baik. Selain itu, pengujian kinerja metode biosensor peneliti menunjukkan bahwa metode tersebut akurat dan memiliki potensi besar untuk menentukan KPT dalam sampel teh hijau.
Peneliti juga melaporkan bahwa; (a) Pada penggunaan kertas saring untuk alat analisis biosensor dengan katekin (sebagai fenol standar) lebih terjangkau dari segi biaya dibanding penggunaan kuvet atau sumuran plat mikro (microwell plate ). (b) Metode scanometric terbukti lebih murah dibandingkan dengan spektrofotometri sehingga penggunaan alat dan metode peneliti sangat disarankan dalam penelitian lanjutan.
Berdasarkan penelitian di atas, biosensor kolorimetri berbasis kertas menunjukkan respons sensitif terhadap katekin (struktur dasar polifenol teh hijau). Metode yang diusulkan peneliti menyediakan metode yang sederhana, murah, dan dapat diandalkan untuk menentukan KTP minuman teh hijau. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan untuk penerapannya dalam studi kunjungan lapangan atau daerah terpencil di mana sumber daya eksperimen terbatas.
Hasil penelitian dapat diakses di
Penulis: Ani N. Fauziyah
Editor: Diajeng Putri P. S.