Prof. Dr. Dwi Setyawan, S.Si, M.Si., Apt., guru besar dari Fakultas Farmasi UNAIR dalam orasinya, Kamis (12/9/2019). (Foto: Bambang BES)
UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga Prof Moh Nasih mengukuhkan sebanyak tiga uru besar baru pada Kamis (12/9/2019). Salah satu dari tiga guru besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Dwi Setyawan, S.Si, M.Si., Apt., guru besar dari Fakultas Farmasi UNAIR.
Sebelum dikukuhkan, tiga guru besar menyampaikan orasi mereka terkait ide dan gagasan yang bermanfaat untuk masyarakat sesuai bidang ilmu yang digeluti. Dalam orasinya, Prof Dwi menyampaikan hasil risetnya terkait pengembangan kristalografi farmasi sebagai salah satu upaya mewujudukan ketersediaan obat. Kristalografi farmasi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk dan struktur kristal bahan farmasi.
“Terdapat beberapa kendala yang dirasakan oleh industri farmasi, salah satunya adalah harga obat yang turun hingga 30 persen, sehingga memerlukan upaya efisiensi produksi,” ujar Prof Dwi yang juga dosen aktif sekaligus Wakil Dekan II Fakultas Farmasi.
Hal-hal yang menentukan keberhasilan dalam sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) salah satunya adalah ketersediaan obat dan harga obat yang terjangkau. Obat yang ada di formularium nasional diupayakan diproduksi secara nasional. Hal itulah yang menjadi penyebab dari turunnya harga obat.
Dalam orasinya, Prof Dwi menyampaikan bahwa sebanyak 96 persen bahan baku obat masih diperoleh dengan cara impor. Hal ini terjadi karena tuntutan terhadap harga obat yang efisien. Upaya efisiensi harga yang berlebihan dapat memunculkan beberapa kendala produksi, khususnya terkait karakteristik fisik dan sifat fisiko-kimia bahan obat.
Sifat fisiko-kimia suatu bahan sangat bergantung dari struktur internal kristal penyusunnya. Perbedaan struktur internal kristal akan memberikan perbedaan sifat seperti kelarutan, dan bahkan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan hayati suatu senyawa. Sifat-sifat tersebut dapat memengaruhi proses produksi.
“Sebanyak 30 persen bahan farmasi berbentuk kristal hidrat, dimana ukuran molekul air yang kecil dapat dengan mudah masuk dan mengisi ruang yang kosong. Terkait bentuk kristal, ada beberapa modifikasi yang bisa dilakukan,” ujar Prof Dwi.
Beberapa cara yang dapat dilakukan di antaranya modifikasi kokristal, modifikasi garam, dispersi padat, dan kompleks inklusi. Modifikasi kokristal umumnya dilakukan untuk memperbaiki sifat fisiko kimia bahan obat tanpa mengubah struktur molekul dan sifat farmakologisnya.
Dalam orasinya, Prof Dwi memberikan beberapa contoh senyawa yang dapat dimodifikasi melalui kokristalnya. Dua di antaranya adalah senyawa Karbamazepin dan Sidenofil. Kedua senyawa tersebut memiliki kelarutan yang rendah, sehingga perlu dilakukan perbaikan terhadap sifat tersebut.
“Selain itu ada senyawa Quersetin yang diperoleh dari bahan alam. Kelarutannya yang rendah menyebabkan ketersediaan hayatinya menurun, maka dilakukan modifikasi kokristal,” jelas Prof Dwi.
Dengan dilakukannya pengembangan ilmu kristalografi, terutama di bidang farmasi, diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan produksi yang ada. Selain itu, diharapkan ilmu kristalografi ini dapat menjadi solusi dari masalah ketersediaan hayati sediaan farmasi.
“Produksi sediaan farmasi yang efektif dan efisien akan menjamin ketersediaan obat di masyarakat yang akhirnya akan mendukung kesuksesan program JKN oleh pemerintah,” pungkas Prof Dwi. (*)
Penulis : Sukma Cindra Pratiwi
Editor : Binti Q Masruroh