info@ff.unair.ac.id +62-31-5937824

Memahami Koridor Hukum Profesi Apoteker

Semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat didukung dengan perkembangan pesat dalam dunia informasi dan pemberitaan menuntut apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan untuk lebih memahami produk-produk hukum yang berkaitan dengan praktik profesinya. Hal inilah yang melatar-belakangi penyelenggaraan diskusi internasional bertajuk ”Courses and Seminar : Understanding the Position of Pharmacist in the Legal Context” yang dilaksanakan Kamis, 21 Oktober 2010 di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (FF Unair). Dengan format diskusi panel, acara ini menghadirkan 3 pembicara yaitu Dr. Budi Suprapti, M.Si dari Departemen Farmasi Klinis FF Unair serta pakar hukum kesehatan dari Institute of Health Policy and Management, Erasmus University Rotterdam - Belanda, Profesor Martin Buijsen dan Dr. Andre den Exter.

“Diskusi internasional ini diharapkan dapat memberikan pembekalan praktis kepada apoteker ketika menghadapi suatu tuntutan hukum.” Demikian yang disampaikan ketua panitia Andi Hermansyah, Apt., M. Sc. Berbagai pertanyaan menarik dilontarkan oleh peserta kepada para pembicara. Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan ini adalah kasus yang benar-benar terjadi di tempat praktik apoteker tersebut. Contohnya seorang peserta dari salah satu rumah sakit negeri di Jawa Timur mempertanyakan mengenai kebolehan apoteker menulis resep untuk pasien berdasarkan rekam medik yang ditulis oleh dokter. Tindakan ini bahkan didukung penuh oleh para dokter di rumah sakit itu. Dr. Andre maupun Prof. Martin berpendapat bahwa tindakan apoteker menulis resep tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan kewenangan  profesi apoteker.

“Bagaimana jika seorang apoteker dianggap melakukan malpraktik karena  pengetahuan apoteker tersebut kurang?” tanya seorang peserta dari Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL). Kedua pembicara dari Erasmus University menyampaikan bahwa standar kompetensi atau standar pengetahuan yang digunakan harus jelas. Apabila pengetahuan apoteker memang kurang, maka apoteker dapat diproses hukum lebih lanjut. Kemudian Dr. Budi menambahkan bahwa saat ini Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) bekerjasama dengan organisasi profesi kesehatan berusaha meningkatkan kualitas tenaga kesehatan melalui ujian kompetensi nasional dalam program Health Professional Education Quality Project (HPEQ Project).

Seminar ini dihadiri oleh para apoteker puskesmas, perceptor (pembimbing PKP) komunitas, Dinas Kesehatan Kota Surabaya, Dinas Kesehatan Propinsi Jatim, Balai Besar POM, anggota-anggota APTFI, Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit, serta para staf pengajar dan mahasiswa Fakultas Farmasi Unair. Seluruh undangan tampak begitu antusias mengikuti jalannya diskusi yang mengangkat berbagai kasus dan kendala dalam pelaksanaan keprofesian.

Apoteker sebagai tenaga kesehatan memiliki posisi dan kekuatan hukum yang jelas dalam sistem perundangandi semua negara dan berlaku universal. Meski demikian, apoteker dituntut selalu mengembangkan diri untuk dapat memenuhi standar minimal praktek kefarmasian yang ditentukan oleh organisasi profesi. Kejadian malpraktik oleh apoteker dapat ditekan jika apoteker senantiasa berkonsultasi dengan pasien maupun tenaga kesehatan lain serta rutin mendokumentasikan setiap aktivitas kefarmasian. Namun bila terjadi komplain atau pengaduan oleh pasien atas kinerja apoteker hingga terjadi tuntutan hukum atas kelalaian apoteker maka mekanisme peradilan profesi adalah yang perlu dilakukan pertama kali sebelum menempuh jalur peradilan hukum (perdata atau pidana)

Secara umum diskusi ini membuka mata apoteker bahwa selain kompetensi, apoteker juga dituntut memahami produk-produk hukum yang berkaitan dengan profesi ini sehingga para apoteker dapat berpraktik dalam koridor yang benar. (rad)