Tim peneliti dari Universitas Airlangga, Surabaya, memanfaatkan rumput laut sebagai pengganti gelatin untuk produksi cangkang kapsul. Produknya siap diproduksi massal.
Cangkang kapsul dari rumput laut buatan Universitas Airlangga, Surabaya.
Pemenuhan kebutuhan cangkang kapsul di Indonesia masih bergantung dari bahan baku berupa gelatin yang diimpor dari luar negeri. Tim peneliti dari Universitas Airlangga, Surabaya, memanfaatkan rumput laut sebagai pengganti gelatin untuk produksi cangkang kapsul. Produknya siap diproduksi massal.
Dalam setahun, kebutuhan cangkang kapsul untuk industri farmasi dalam negeri mencapai 6 miliar butir. Sekitar 5 miliar butir di antaranya diproduksi oleh perusahaan dalam negeri, tetapi bahan baku gelatin berasal dari impor. Sisanya sekitar 1 miliar butir diimpor langsung dari industri farmasi luar negeri.
Meski sudah bisa memproduksi cangkang kapsul, gelatin sebagai bahan baku pembuatannya masih diimpor dari Thailand, Bangladesh, dan India. Gelatin merupakan produk hidrolisis dari kolagen yang berasal dari kulit, jaringan, dan tulang binatang sapi, kerbau, serta babi.
Salah satu dampak impor gelatin adalah ketergantungan industri farmasi dalam negeri karena tidak memiliki bahan baku sendiri. Gelatin impor juga tidak bisa dipastikan kehalalannya karena sebagian konsumen menginginkan obat-obatan halal, terutama bagi konsumen yang memeluk agama Islam.
Kondisi itu membuat para peneliti dari Universitas Airlangga Surabaya mengembangkan riset untuk mencari bahan baku pengganti gelatin. Berawal dari skripsi mahasiswa Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga pada tahun 2013, sejumlah peneliti mengembangkannya. Akhirnya, sekitar enam tahun berselang, Universitas Airlangga mampu memproduksi cangkang kapsul dari rumput laut.
Guru Besar Ilmu Kimia Universitas Airlangga yang juga salah satu peneliti, Pratiwi Pudjiastuti, mengatakan, rumput laut sebagai bahan baku cangkang kapsul memiliki senyawa kappa-carrageenan yang mampu menggantikan gelatin. "Kandungan kappa-carrageenan dalam rumput laut mencapai 60 persen," ujarnya di Surabaya, Senin (3/2/2020).
Rumput laut sebagai bahan baku cangkang kapsul memiliki senyawa kappa-carrageenan yang mampu menggantikan gelatin.
Cangkang kapsul dari rumput laut juga bisa dipastikan kehalalannya. Sebab, bahan baku itu berasal dari nabati dan proses pembuatannya diawasi secara ketat. Hal itu berbeda dengan gelatin impor dari hewan-hewan yang tidak bisa dipastikan kehalalannya.
Sumber: tim peneliti cangkang kapsul dari rumput laut di Universitas Airlangga SurabayaNilai tambahPeluang pemanfaatan rumput laut di Indonesia pun besar. Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai 99.093 kilometer, produksi rumput laut tahun 2017 mencapai 10,8 juta ton. Sebagian besar produk rumput laut itu dijual dalam bentuk bahan baku sehingga tak memiliki nilai tambah bagi warga Indonesia.
Pratiwi memaparkan, untuk membuat cangkang kapsul, rumput laut harus diekstraksi lebih dulu. Kemudian hasil ekstraksi itu dicampur bahan lain, seperti alginate atau pati sesuai karakter cangkang kapsul yang diinginkan. Bahan-bahan itu dicampur dengan zat pemlastik agar lentur dan diberi zat tambahan.
"Bahan baku berupa hasil ekstraksi rumput laut dipasok dari PT Kappa Carrageenan Nusantara di Pasuruan. Kami belum memiliki alat untuk ekstraksi sehingga lebih mudah untuk memperolehnya dari pihak lain," ungkap Pratiwi.
Saat ini, ada tiga jenis cangkang kapsul yang bisa diproduksi Universitas Airlangga. Pertama, carral (carrageenan-alginate) yang merupakan kombinasi ekstrak rumput laut merah dan rumput laut coklat. Karakter cangkang kapsul ini yakni akan terlepas 12-14 menit setelah dikonsumsi, lebih lama dibandingkan cangkang kapsul dari gelatin yang bisa terlepas sekitar 5 hingga 7 menit.
Harga carral ini sekitar Rp 90 per kapsul atau tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan gelatin. Namun, keunggulan dari carral sangat cocok untuk obat-obatan yang tidak tahan asam dapat lepas di usus, yaitu pH 6.8.
Sementara cangkang kapsul kedua, yakni carrpa (carrageenan-pati). Cangkang kapsul jenis ini berbahan baku sama dengan carral, tetapi dicampur dengan pati. Carrpa dikembangkan untuk menjawab kelemahan dari carral yakni biaya produksi mahal karena mampu menekan biaya produksi.
Cangkang kapsul jenis ini dijual seharga Rp 29 per butir, sama seperti dengan cangkang kapsul dari gelatin. Namun, carrpa baru bisa terlepas sekitar 20-27 menit setelah dikonsumsi atau empat kali lebih lama dibandingkan cangkang kapsul dari gelatin.
Waktu terlepas yang cukup lama membuat para peneliti terus mengembangkan formulasi untuk membuat cangkang kapsul yang murah dan cepat terlepas, seperti dari gelatin. Akhirnya pada 2017 para peneliti menyempurnakan produknya dengan menambah sebuah zat dalam bahan baku carrpa.
"Cangkang kapsul terbaru bernama car-x memiliki sifat lebih cepat terlepas dan bisa dikendalikan jangka waktu terlepasnya," kata peneliti dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Esti Hendradi.
Tim peneliti memiliki formula untuk mengatur jangka waktu pelepasan kapsul. Hal itu bertujuan memaksimalkan fungsi obat karena ada beberapa jenis obat lebih stabil jika terlepas di organ tertentu seperti di usus, tak hanya di lambung.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Nanang (60) nelayan rumput laut mengeringkan hasil budidayanya di depan kediaman, di Desa Kokoe, Bombana, Sulawesi Tenggara, Senin (23/9/2019). Sejumlah nelayan tangkap dan rumput laut di daerah ini beralih kerja sebagai buruh tambang sejak beberapa tahun terakhir.
Teaching industry
Saat ini, Unair memiliki fasilitas teaching industry cangkang kapsul berbahan baku rumput laut yang mulai dibangun sejak tahun 2018 dengan biaya Rp 4 miliar. Fasilitas itu dibangun melalui kerja sama antara Universitas Airlangga dengan Kementerian Perindustrian.
Kapasitas produksi cangkang kapsul di tempat ini sekitar 3 juta butir cangkang kapsul per hari dan akan diserap oleh perushaan farmasi, PT Kapsulindo Nusantara. Cangkang kapsul mampu bertahan hingga tiga tahun.
"Produksi belum bisa dilakukan karena menanti izin produksi, izin keamanan, dan sertifikasi. Kami berharap izin-izin itu segera keluar agar produk ini bisa segera diproduksi massal karena semua peralatan sudah siap," kata Pratiwi.
Baca juga Perdebatan soal Kultur Jaringan Rumput Laut
Peneliti lain dari Departemen Kimia Unair, Siti Wafiroh, menambahkan, cangkang kapsul dari rumput laut sudah melewati beberapa tahap pengujian. Pengujian dilakukan antara lain uji disintegrasi untuk melihat pemecahan cangkang kapsul, uji kinetika untuk melihat kecepatan obat, serta uji dissolusi untuk mengukur kecepatan pelepasan dan pelarutan.
Seperti produk-produk industi lain, pembuatan cangkang kapsul dari rumput laut juga menghasilkan limbah. Dalam satu kali proses produksi, ada sekitar 30 persen ekstrak rumput laut tak terpakai. Limbah itu berasal dari adonan pencetak kapsul yang tidak tercetak oleh pinbar pencetak kapsul.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Nanang (60), nelayan rumput laut, mengeringkan hasil budidayanya di depan kediamannya di Desa Kokoe, Bombana, Sulawesi Tenggara, Senin (23/9/2019).
Limbah itu bisa dimanfaatkan kembali untuk diolah menjadi cangkang kapsul. Namun, pemanfaatan limbah itu hanya bisa dilakukan untuk cetakan kedua karena kandungan polimer carrageenan rusak jika ingin kembali dimanfaatkan.
Meski demikian, sisa limbah dari produksi kedua tetap bisa dimanfaatkan untuk pengganti plastik dalam pembuatan piring, gelas, dan sedotan. Produk ini bisa dimakan setelah digunakan karena tidak mengandung bahan berbahaya. Jika dibuang, produk limbah bisa terurai oleh bakteri selama sekitar empat hari karena berasal dari bahan organik.
"Pemanfaatan rumput laut menganut prinsip zero waste karena tidak ada limbah yang tidak bisa dimanfaatkan. Kami berharap ada bantuan untuk pengadaan mesin untuk memanfaatkan limbah ini," ucap Pratiwi.
Pemanfaatan rumput laut sebagai pengganti gelatin untuk produksi cangkang kapsul sudah sepatutnya didukung semua pihak. Perizinan perlu dipermudah agar hilirisasi riset bisa segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Cangkang kapsul dari rumput laut menjadi salah satu upaya kemandirian bangsa dalam industri farmasi.
Oleh
IQBAL BASYARI
10 Februari 2020
kompas.id