UNAIR NEWS – Salah satu hal yang paling ditunggu dalam masa pandemi COVID-19 adalah produksi obat dan antivirus yang hingga kini masih dalam tahap pengembangan maupun uji klinis. Demi membagikan informasi dan pengetahuan terkait hal tersebut, Fakultas Farmasi (FF) Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar seri webinar yang bertajuk Pengembangan Produk Obat Baru untuk Penanganan COVID-19. Webinar ini adalah webinar ke-5 dari rangkaian Webinar Series Faculty of Pharmacy, Universitas Airlangga
Acara yang digelar pada Senin (3/8/2020) tersebut dibuka
oleh Dekan FF Prof. Dr. Umi Athiyyah, MS., Apt. yang menyebut
tenaga farmasi sebagai experts on drugs yang berperan vital
dalam usaha penanganan COVID-19. Mengingat, UNAIR yang telah
memiliki tanggung jawab dan kontribusi yang besar selama
pandemi, baik tenaga farmasi UNAIR diharapkan mampu secara
progresif melakukan inovasi klinis.
Pada kesempatan pertama, Prof. Dr. apt. Siswandono, M.S.
selaku Guru Besar Kimia Medisinal FF membagikan materi yang
menyoroti bagaimana pengembangan molekul baru sebagai kandidat
obat COVID-19. Salah satu bahan asal Indonesia yang menurutnya
memiliki potensi menjadi obat antivirus COVID-19 adalah rimpang
dari tanaman temu kunci.
“Rimpang tanaman temu kunci punya kandungan pinostrobin 1
– 2%, artinya efek antivirus-nya tinggi. Pinostrobin umumnya
bisa menghambat herpes simplex virus-1. Hal tersebut bisa
dikembangkan lebih lanjut menjadi senyawa yang ampuh melawan
COVID-19.” katanya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Farmasetika Prof. Dr. apt.
Dwi Setyawan, M.Si membawakan materi mengenai riset dan
pengembangan produk farmasi guna penanganan COVID-19.
Menurutnya dalam pengembangan obat antivirus COVID-19, selain
harus melalui seleksi yang ketat, tenaga farmasi juga harus
memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai API (bahan aktif)
dan excipients.
“Pengetahuan tentang dua hal itu penting agar di masa
depan tidak terjadi kejutan atau kalau istilah jawa-nya, getun.
Karena keduanya mampu mempengaruhi kestabilan dan keberlajutan
produk farmasi.” ujar Wakil Dekan II FF UNAIR tersebut.
Baginya, sebuah produk farmasi tidak akan cukup baik
dengan hanya lulus serangkaian pengujian. Produk farmasi harus
memiliki mutu jangka panjang yang terkait dengan ketahanan,
kualitas, dan konsistensi kemampuan untuk mengobati. Dalam
bahan obat contohnya, para ahli harus memperhatikan nama kimia,
struktur kimia, BM, kemurnian, efek terapeutik, hingga
perkiraan dosis.
Selanjutnya pada materi terakhir, Wakil Rektor IV UNAIR
yang juga Guru Besar Biofarmasetika FF UNAIR Prof. apt. Junaidi
Khotib, M.Kes., Ph.D membagikan informasi mengenai uji
preklinik dan klinik pengembangan obat COVID-19. Prof. Junaidi
mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pengembangan obat
COVID-19 dibanding obat lain.
Apabila proses pengembangan obat biasa membutuhkan waktu
bertahun-tahun lamanya, proses uji klinik obat COVID-19
memiliki tahapan tersendiri dalam keadaan darurat. Tahapan
tersebut dimulai dengan target, pre-klinil, dan partner.
Kemudian dilanjutkan dengan pengembangan klinik dan safety
efficacy, lalu diikuti pengembangan, scale-up produk uji dan
yang terakhir adalah skala industri.
“Tahapan uji klinik tersebut dilakukan oleh solidarity
trial berbagai negara yang progresnya kemarin telah mencoret
chloroquine dan lopinavir dari daftar bahan potensi obat.
Begitu juga dengan landscape pengembangan obat UNAIR. Hampir
serupa.” ungkap expert member standarisasi produk obat dan PKRT
BPOM RI tersebut.
Dalam webinar yang dimoderatori oleh Dr. apt. Retno Sari,
M.Sc. tersebut, para pemateri turut mengatakan bahwa para ahli
farmasi kini tengah bekerja keras untuk mengembangkan obat
COVID-19 secepat mungkin. Akan tetapi perlu diingat bahwa
lamanya proses pengembangan juga terjadi karena mereka
benar-benar memperhatikan kualitas obat bagi pasien secara
keseluruhan. Maka dari itu, baik masyarakat maupun tenaga
farmasi harus memiliki pemahaman yang tepat mengenai
pengembangan obat antivirus COVID-19.
Penulis: Intang Arifia
Editor: Feri Fenoria