info@ff.unair.ac.id +62-31-5937824

Tak Dianjurkan Kemenkes, Pakar UNAIR Jelaskan Penggunaan Bilik Disinfeksi

Dr. Retno Sari, MSc., Apt. dosen Fakultas Farmasi UNAIR. (Dok. Pribadi)

Dr. Retno Sari, MSc., Apt. dosen Fakultas Farmasi UNAIR. (Dok. Pribadi)

 

UNAIR NEWS – Pada tanggal 3 April 2020 yang lalu, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengeluarkan surat edaran (SE) nomor : HK.02.02/III/375/2020 mengenai penggunaan bilik desinfeksi dalam rangka pencegahan penularan covid-19. Secara singkat, SE tersebut tidak menganjurkan penggunaan bilik disinfeksi di tempat dan fasilitas umum serta pemukiman.

Terdapat beberapa pertimbangan yang digunakan untuk memberikan rekomendasi tersebut. Salah satunya adalah pernyataan WHO mengenai bahaya penyemprotan disinfektan pada tubuh, terutama untuk membran mukosa seperti mata dan mulut. Sehingga, berpotensi menimbulkan risiko terhadap kesehatan dan dapat merusak pakaian.

Bahan pertimbangan Kemenkes RI yang lain adalah berbagai macam cairan disinfektan yang digunakan untuk bilik disinfeksi di lapangan antara lain adalah diluted bleach, klorin, etanol 70%, ammonium kuarterner seperti benzalkonium kloridahidrogen peroksida dan lain sebagainya. Bahan tersebut, merupakan bahan untuk disinfeksi ruangan dan permukaan, bukan untuk tubuh.

Menanggapi hal itu, Dr. Retno Sari, MSc., Apt. atau yang akrab disapa Retno dosen farmasi di Fakultas Farmasi UNAIR memberikan penjelasan. Menurutnya, bahan-bahan yang digunakan tersebut perlu ditelaah bagaimana toksisitasnya, sifat fisikokimia, dan kadar penggunaan atau kadar efektif.

Sebagai contoh, benzalkonium klorida pada kadar 0,01% – 0,5% dapat digunakan sebagai obat kumur, membersihkan luka, dan sebagai pengawet sediaan. Hidrogen peroksida pada kadar 3 sampai 5% dapat ditemukan pada sediaan untuk kumur dan mencegah infeksi pada luka.

“Pada penggunaan untuk disinfeksi permukaan perlu diperhatikan juga kadar dan cara penggunaannya karena beberapa bahan dapat bersifat korosif terhadap logam, merusak karet, plastik, dan kain,” jelas Retno.

Bahan disinfektan atau antiseptik apabila tidak digunakan dengan benar dapat menimbulkan efek yang merugikan manusia. Sehingga, harus diperhatikan toksisitas dari bahan tersebut, kadar penggunaan sesuai tujuan, cara penggunaan.

Pada penggunaan yang tidak sesuai, beberapa bahan dapat menimbulkan efek merugikan bagi manusia seperti iritasi kulit, mukosa dan gangguan saluran pernafasan, bahkan ada yang bersifat karsinogenik. Demikian juga beberapa bahan ada yang bersifat mudah terbakar, merusak permukaan logam, plastik, kain.

“Oleh karenanya pemilihan bahan disinfektan harus memperhatikan keamanan, efektivitas, dan stabilitas,” lanjutnya.

Selain itu, penggunaan disinfektan juga perlu memperhatikan beberapa hal. Di antaranya adalah pemilihan bahan yang tidak toksik terhadap manusia, efektivitas dan keamanan dimana hal tersebut melibatkan kadar penggunaan, cara penyiapan, cara penggunaan dan waktu penggunaannya.

“Selain itu petugas juga perlu mendapatkan arahan tentang prosedur yang benar dalam melakukan disinfeksi,” ucapnya.

Menurut Retno, dalam situasi dimana tindakan disinfeksi diperlukan, sebenarnya tidak harus dalam bentuk bilik disinfeksi. Prinsipnya adalah bagaimana upaya kita untuk mengurangi mikroorganisme yang ada pada pakaian luar.

Upaya untuk mencegah atau mengurangi resiko penyebaran virus perlu dilakukan pada kondisi antara lain tuntutan pekerjaan. Sebagai contoh pada industri kesehatan yang mana banyak karyawan tetap harus masuk bekerja, mereka datang dari berbagai tempat, menggunakan berbagai moda transportasi, berada di lokasi yang sama selama beberapa jam. Atau, orang-orang yang datang ke tempat pelayanan kesehatan, di tempat layanan umum dimana masih ada orang datang dan pergi.

Selain itu, dalam SE yang dikeluarkan Kemenkes RI tersebut dijelaskan bahwa disinfeksi dilakukan pada permukaan, ruangan, pakaian, dan alat pelindung diri. Karenanya, menurut Retno, disinfektan yang tidak disemprotkan langsung pada bagian tubuh terbuka seperti mata dan muka tetapi pada pakaian luar dapat dipertimbangkan.

“Penggunaan bilik disinfeksi harus memperhatikan ketentuan yang berlaku tentang jenis dan kadar disinfektan, cara penyiapan larutan, cara dan waktu penyemprotan, keamanan bagi manusia baik bagi petugas maupun orang yang disemprot,” pungkasnya. (*)

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Binti Q. Masruroh